Catatan : Dr. Amam Fakhrur
(Ketua PA Kota Surabaya & Alumni Ponpes YTP, Kertosono)
Harianindonesiapost.com Pada Kajian Ahad Pagi yang digelar di masjid tak jauh dari tempat saya tinggal, dalam _intro_ ceramahnya sang ustadz memaparkan hadits Rasulullah SAW, hadits tentang keutamaan shalat isya ‘ dan shalat subuh, bila dilakukan dengan berjama’ah. Dalam hadits tersebut dijelaskan, shalat isya’ secara berjama’ah pahalanya seperti melaksanakan shalat selama separuh malam. Sementara melaksanakan shalat subuh secara berjama’ah seperti melaksanakan shalat selama semalam penuh.
Lantas ustadz itu menjelaskan tentang mengapa Allah SWT memberikan _reward_ (pahala) yang luar biasa besar bila shalat isya:’ dan shalat subuh dilakukan dengan berjama’ah. Menurutnya, pada masa itu (Nabi menyabdakan) belum ada penerangan lampu semodern di era sekarang, tentu saja suasana gelap menyelimuti waktu isya’ dan di waktu subuh. Selain itu jarak antar rumah warga tidak serapat masa kini, jarak rumah warga yang satu dengan warga yang lain bisa beradius ratusan meter. Betapa sulit, berat dan tidak mudahnya seseorang muslim untuk melakukan shalat isya’ dan subuh secara berjama’ah di masjid. Ustadz tersebut kemudian menarasikan bahwa tingginya _reward_ (pahala) yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah tergantung tingkat kesulitannya. Nabi telah menyabdakan sesuai konteks kebudayaan berinteraksi dan berteknologi para sahabat ketika itu.
Menggunakan teori dalam mengeluarkan _(istinbat)_ hukum selalu menjadi perdebatan panjang yang tiada henti, termasuk soal teks dan konteks dalam wahyu dan sabda Nabi. Yang dimaksudkan teks di sini adalah tulisan-tulisan., bunyi dan makna apa adanya yang tertera dalam al-Qur’an dan sabda Nabi, adapun yang dimaksud konteks di sini adalah makna lain di luar teks yang sangat dipengaruhi oleh letak geografis, situasi dan kondisi, atau psikologis pembaca teks tersebut.
Teks al-Qur’an memerintahkan agar pencuri lelaki dan pencuri perempuan agar dipotong kedua tangannya, namun di saat musim _peceklik_ ( kemarau penjang ), Umar bin Khattab, tidak serta merta memotong tangan pencuri di saat itu. Umar bin Khattab menerapkan hukuman berdasarkan konteks sitauasi sosial tertentu, Hadits tentang bagi lelaki menurunkan ujung kain ke bawah mata kaki, baik di dalam shalat maupun di luar shalat sebagai suatu keharaman, tetapi banyak ulamak memahami dari sisi konteks motivasinya, apakah untuk kesombongan ataukah tidak. Hadits tentang larangan berpakaian warna kuning, menggunakan lonceng, di lingkungan kekinian tidak lagi menjadi larangan, karena Nabi melarangnya adalah sesuai konteks politik perjuangan ketika itu yang mengenai hal tesebut sangat berbeda dengan di era kekinian. Banyak ragam contoh soal memahami secara kontekstual.
Jujur saja, saya dalam hal - hal tertentu turut mengaminkan soal teks dan perlunya pemahan secara kontekstual, sepanjang tidak untuk _gagah-gagahan_ pemahaman, asal beda, tetapi dengan disertai daya nalar argumentasi (keadilan, kemanfaatan) dan terdapar argumen teologis sebagai pintu masuknya, meski saya menghormati sebagaian saudaraku semuslim yang cenderung tekstual. Sudahlah saya tidak meneruskan soal itu, saya meneruskan saja mengenai konteks sebagai pembaca al-Qur’an dan sabda Nabi, yang berkeyakinan .
Bagini, di saat saya membaca al-Qur'an surat al-Ma’ idah, ayat 8, tentang perintah bertindak adil, maka spontan saya menjadi tersipu malu, merasa sedikit berdosa, karena dalam beberapa hal telah bertindak tidak adil, kareana cenderung tidak obyektif, dan tidak jernih memandang suatu persoalan, apalagi terkait dengan jagat politik. Ketika membaca al Qur'an surat al-Baqarah ayat 224, yang mengingatkan setiap mukmin dan muslim untuk tidak tergesa-gesa merasa mendapat jatah masuk surga, sebelum diuji seperti diujikan kepada umat-umat terdahulu, saya merasa disindir karena merasa belum mengambil peran besar soal penegakan kebaikan di muka bumi, saya masih mengambil posisi zona nyaman dalam implementasi ajaran-ajaran agama. Kemudian saya merenung rasanya belum pantas rasanya saya masuk surga-Nya. Ketika membaca Hadits Nabi yang diriwayatkan Muslim, tentang perintah memalingkan pandangan ketika (tidak sengaja) memandang wanita, saya merasa dikritik, karena selama ini saya telah “melawan” hadits tersebut, karena sudah tak terhitung saat memandang wanita lain, tidak memalingkan pandangan,cenderung _mblakrak_ , menikmatinya atau bahkan ikut -ikutan berideologi ‘ dari mata turun ke hati’. Meski demikian saat membaca al-Qur’an dan Hadits, terkadang dapat tersenyum, di saat sinyal wahyu dan sabda Nabi tersebut,saya telah sedikit mencoba dan sedikit bepengalaman untuk mengimplementasikannya.
Allah SWT tentu mempunyai maksud dari pesan-pesan yang telah ditulis-Nya, demikian pula Nabi Muhammad SAW, mempunyai maksud dari pesan yang telah disabdakannya. Sebagai pembaca teks tentu saya mempunyai hak untuk mengambil dari konteksnya, yaitu cara pandang secara keseluruhan, keyakinan dan cita rasa budaya yang saya miliki. Saya merasa wahyu dan sabda Nabi yang ditulis ribuan tahun silam pesannya masih sangat aktual dan bercita rasa tinggi. Biarlah di saat membaca, saya merasa dikeritik,disinggung diingatkan,kemudian segera atau menunda-nunda koreksi diri, atau terkadang menjadi sedikit tersenyum atau menjadi terhibur setelah berduka.
Sebagai muslim dituntut untuk senantiasa membaca wahyu dan sabda Nabi, membaca yang tidak hanya teksnya tetapi juga konteks sebagai pembaca. Dan tentu saja, saya dituntut sebagai pembaca yang bertanggung jawab, merasakan, menjadikannya rujukan dan turut kepada keduanya, karena keduanya adalah jalan keselamatan.(Sudono Syueb,ed) _Wallahu a’lam._
0 Comments